Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh
Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab
hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik.
Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan
al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada
masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.[2]
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang
diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.[3]
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama
dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum
Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di
atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan
para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân,
maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man
qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber
hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4]
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan,
enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah
ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya
menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke
Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي
إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ،
قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman,
Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia
berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak
terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah
Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul
Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa
yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi
kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika
ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam
kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun
berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8]
Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum
saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Selasa, 27 November 2012
Asas-Asas Hukum Islam
Asas
berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi.
Jika dihubungkan dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama
dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
1. Asas-asas umum
a. Asas keadilan
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.[19]
b. Asas kepastian hukum
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c. Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.
2. Asas dalam lapangan hukum pidana
a. Asas legalitas
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c. Asas praduga tak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
3. Asas dalam lapangan hukum perdata
a. Asas kebolehan (mubah)
asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.
b. Asas kemaslahatan hidup
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.
c. Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.
d. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e. Asas kebajikan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.
f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.
g. Asas adil dan berimbang
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.
k. Asas kebebasan berusaha
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
l. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
m. Asas perlindungan hak
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.
n. Asas hak milik berfungsi sosial
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.
p. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
q. Asas mengatur dan memberi petunjuk
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam
r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
a. Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
b. Persetujuan kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c. Kebebasan memilih
d. Kemitraan suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
e. Untuk selama-lamanya
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
f. Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Asas-asas Hukum Kewarisan
a. Asas Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
b. Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
c. Asas individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
d. Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e. Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
1. Asas-asas umum
a. Asas keadilan
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.[19]
b. Asas kepastian hukum
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c. Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.
2. Asas dalam lapangan hukum pidana
a. Asas legalitas
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c. Asas praduga tak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
3. Asas dalam lapangan hukum perdata
a. Asas kebolehan (mubah)
asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.
b. Asas kemaslahatan hidup
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.
c. Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.
d. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e. Asas kebajikan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.
f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.
g. Asas adil dan berimbang
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.
k. Asas kebebasan berusaha
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
l. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
m. Asas perlindungan hak
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.
n. Asas hak milik berfungsi sosial
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.
p. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
q. Asas mengatur dan memberi petunjuk
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam
r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
a. Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
b. Persetujuan kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c. Kebebasan memilih
d. Kemitraan suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
e. Untuk selama-lamanya
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
f. Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Asas-asas Hukum Kewarisan
a. Asas Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
b. Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
c. Asas individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
d. Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e. Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
Mengenal Hukum Islam
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.[2]
Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Dari definisi tersebut syariat meliputi:
1. Ilmu Aqoid (keimanan)
2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
[1] Abdul Wahhab Khalaf, 1994, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Keempat, Hal. 154.
[2] Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.
Jumat, 23 November 2012
Hukum Perkawinan Beda Agama
Dalam pandangan
Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri
berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan
ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di
lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan
makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik
musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan
pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua
bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar
dzahir ayat 221 surat
Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim
dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas
dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena
fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah
sekali timbul.
Mengenai masalah
ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
3. Perkawinan
antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ
تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ... البقرة : 221
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam
... وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ
وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلكِتاَبَ مِنْ قَبْلِكُمْ...
المائدة : 5
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”.
Rasyid Ridha mengenai hal ini lebih sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Kaena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan
Salah satu hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
Yang terakhir bahwa ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion) ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk Animisme, Ateisme dan Politeisme.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim ialah:
a.
Firman
Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ تُنْكِحُوْا
اْلمُشْرِكِيْنَ حَتىَّ يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ... البقرة : 221
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
b. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya, kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap anak-anak melebihi ibunya.
Dalam hal, fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada
sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan
beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama
Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before and After, mengingatkan, bahwa pasangan suami-istri yang terdapat religious antagonism (perlawanan/permusuhan agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik dengan pemudi Protestan atau Yahudi atau Agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalah agama adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif bagi umat beragama.
Menurut pengamatan Masjfuk, bahwa perkawinan antar orang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam, kecuali pria Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang kaidah dan praktek ibadahnya tidak jauh menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam.
Sayang sekali bahwa akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi telah jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya sebagian ulama melarang perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual berdasarkan Al-Quran
Oleh karena itu, perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang non Islam, yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam, karena perkawinannya, tidak dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam, sebab tidak memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/mas kawin serta tanpa ijab qabul menurut tata cara Islam.
Dalam hal ini pantas kita hargai dan perhatikan permohonan Majelis Ulama Indonesia kepada Pemerintah DKI agar menginstruksikan kepada pegawai Catatan Sipil agar tidak mengizinkan perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam di Kantor Catatan Sipil.
Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan KHI pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh KHI mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a.
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai
tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah
tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya
agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan
seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul
Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu
hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim
tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang
tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat
peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam
(pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun
agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan
pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Berangkat dari ayat Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga golongan :
Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga golongan :
1. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi, yaitu penyembah berhala dan orang murtad (sama dengan mereka).
2. Golongan yang
mempunyai semacam kitab samawi, mereka adalah orang-orang Majusi penyembah api.
3.
Golongan yang beriman kepada kitab suci, mereka adalah Yahudi (pada Taurat) dan
Nashrani (percaya pada Taurat dan Injil).
Sementara Yusuf Qardlawi membagi golongan non Muslim atas golongan musyrik, murtad, Bahāi dan Ahlul Kitab.
Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat
yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin
terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka
“fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan
dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan
pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah
air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan
kitabiyah Eropa atau Amerika.
- Kesimpulan
Dalam kaitan hukum pernikahan antara kaum Muslimin dan Muslimat dengan orang-orang yang bukan Islam, orang-orang bukan Islam dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu golongan kaum musyrikin dan golongan Ahlul Kitab. Kaum Muslimat diharamkan secara mutlak kawin dengan pria non-Muslim, baik dari golongan musyrikin maupun dari golongan ahlul kitab. Demikian pula kaum muslimin “haram secara mutlak” kawin dengan wanita musyrik. Hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi (Kitabiyah) ialah karena pada hakekatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion), maka jika wanita kitabiyah kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri wanita itu masuk Islam, karena merasakan dan menyaksikan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam yang baik.
Kitajuga bisa memberi catatan, bahwa perkawinan antar orang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga.
Daftar Pustaka
Al-Jaziry, Kitab
al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut , Dar-ihya al-Turats al-‘Araby.
Ridha,Rasyid, Tafsir Al Manar, Vol. VI,Cairo , Darul Manar, 1367 H.
Ridha,Rasyid, Tafsir Al Manar, Vol. VI,
Sukarjo,
Ahmad, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Vide
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Vol.
II, Cairo ,
Al-Mathba’ah al-Yusufiah, 1931
Beale,
Courtenay, Marriage Before and After, London , The Wales Publishing Co.
Zuhdi,
Maszfuk, Masail Fiqhiah
Dalam pandangan
Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri
berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan
ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di
lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan
makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik
musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan
pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua
bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar
dzahir ayat 221 surat
Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim
dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas
dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena
fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah
sekali timbul.
Mengenai masalah
ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
3. Perkawinan
antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ
تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ... البقرة : 221
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam
... وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ
وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلكِتاَبَ مِنْ قَبْلِكُمْ...
المائدة : 5
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”.
Rasyid Ridha mengenai hal ini lebih sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Kaena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan
Salah satu hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
Yang terakhir bahwa ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion) ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk Animisme, Ateisme dan Politeisme.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim ialah:
a.
Firman
Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ تُنْكِحُوْا
اْلمُشْرِكِيْنَ حَتىَّ يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ... البقرة : 221
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
b. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya, kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap anak-anak melebihi ibunya.
Dalam hal, fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada
sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan
beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama
Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before and After, mengingatkan, bahwa pasangan suami-istri yang terdapat religious antagonism (perlawanan/permusuhan agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik dengan pemudi Protestan atau Yahudi atau Agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalah agama adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif bagi umat beragama.
Menurut pengamatan Masjfuk, bahwa perkawinan antar orang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam, kecuali pria Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang kaidah dan praktek ibadahnya tidak jauh menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam.
Sayang sekali bahwa akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi telah jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya sebagian ulama melarang perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual berdasarkan Al-Quran
Oleh karena itu, perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang non Islam, yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam, karena perkawinannya, tidak dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam, sebab tidak memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/mas kawin serta tanpa ijab qabul menurut tata cara Islam.
Dalam hal ini pantas kita hargai dan perhatikan permohonan Majelis Ulama Indonesia kepada Pemerintah DKI agar menginstruksikan kepada pegawai Catatan Sipil agar tidak mengizinkan perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam di Kantor Catatan Sipil.
Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan KHI pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh KHI mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a.
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai
tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah
tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya
agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan
seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul
Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu
hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim
tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang
tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat
peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam
(pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun
agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan
pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Berangkat dari ayat Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga golongan :
Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga golongan :
1. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi, yaitu penyembah berhala dan orang murtad (sama dengan mereka).
2. Golongan yang
mempunyai semacam kitab samawi, mereka adalah orang-orang Majusi penyembah api.
3.
Golongan yang beriman kepada kitab suci, mereka adalah Yahudi (pada Taurat) dan
Nashrani (percaya pada Taurat dan Injil).
Sementara Yusuf Qardlawi membagi golongan non Muslim atas golongan musyrik, murtad, Bahāi dan Ahlul Kitab.
Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat
yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin
terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka
“fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan
dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan
pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah
air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan
kitabiyah Eropa atau Amerika.
- Kesimpulan
Dalam kaitan hukum pernikahan antara kaum Muslimin dan Muslimat dengan orang-orang yang bukan Islam, orang-orang bukan Islam dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu golongan kaum musyrikin dan golongan Ahlul Kitab. Kaum Muslimat diharamkan secara mutlak kawin dengan pria non-Muslim, baik dari golongan musyrikin maupun dari golongan ahlul kitab. Demikian pula kaum muslimin “haram secara mutlak” kawin dengan wanita musyrik. Hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi (Kitabiyah) ialah karena pada hakekatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion), maka jika wanita kitabiyah kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri wanita itu masuk Islam, karena merasakan dan menyaksikan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam yang baik.
Kitajuga bisa memberi catatan, bahwa perkawinan antar orang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga.
Kamis, 22 November 2012
Pandangan Islam Mengenai Pacaran
Sebuah fitnah besar menimpa pemuda pemudi
pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar
padahal termasuk maksiat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Perbuatan tersebut
adalah “pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahrom. Biasanya hal ini dilakukan oleh sesama teman sekelas atau sesama
rekan kerja atau yang lainnya. Sangat disayangkan, perbuatan keji ini telah
menjamur di masyarakat kita.
Pacaran
dari Sudut Pandang Islam, pacaran tidak lepas dari
tindakan menerjang larangan - larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Fitnah ini
bermula dari pandang memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di
hati—sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke hati”— kemudian berusaha ingin
memilikinya, entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta, telepon, atau yang lainnya.
“Ditetapkan atas anak
Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya
hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya
dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya
dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah.
Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang
membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhari: 6243)
“Sekalikali tidak boleh
seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama
mahromnya.” (H.R. alBukhari: 1862,
Muslim: 1338)
Adakah Pacaran Islami?
Ketahuilah, pacaran yang
diembel - embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah
makar iblis untuk menjerumuskan orang ke dalam neraka. Adakah mereka dapat
menjaga pandangan mata dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah atau lakilaki ajnabi termasuk perbuatan yang
diharamkan?! Camkanlah firman Allah
“Katakanlah (wahai Muhammad)
kepada lakilaki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata
mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Dan
katakanlah kepada wanitawanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka”…. (Q.S. anNur [24]: 3031)
Tidak tahukah mereka
bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi
laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (H.R. al-Bukhari: 5096)
Segeralah Menikah Bila
Sudah Mampu
“Wahai generasi muda,
barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka segeralah menikah karena
sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata.
Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng
(dari gejolak birahi).” (H.R. al-Bukhari: 5066)
Al-Imam Nawawi
rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud mampu menikah adalah
mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah.” (Fathul Bari: 9/136)
Dengan menikah segala
kebaikan akan datang. Itulah pernyataan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang
tertuang dalam Q.S. ar-Rum [30]: 21. Islam menjadikan pernikahan sebagai
satu-satunya tempat pelepasan hajat birahi manusia terhadap lawan jenisnya.
Lebih dari itu, pernikahan sanggup memberikan jaminan dari ancaman kehancuran
moral dan sosial. Itulah sebabnya Islam selalu mendorong dan memberikan
berbagai kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu.
Pacaran juga dapat
mendekati zina dalam Al-Qur’an dijelaskan yang artinya berbunyi :
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (QS. 17 Al
Israa -perjalanan malam hari- 32)
Nasihat
Janganlah ikut-ikutan
budaya Barat yang sedang marak ini. Sebagai orang tua, jangan biarkan
putra-putrimu terjerembab dalam fitnah pacaran ini. Jangan biarkan mereka
keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, tidak memakai jilbab atau malah
memakai baju ketat yang membuat pria terfitnah dengan penampilannya.
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. alAhzab [33]: 59)
Langganan:
Postingan (Atom)