Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh
Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab
hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik.
Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan
al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada
masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.[2]
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang
diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.[3]
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama
dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum
Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di
atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan
para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân,
maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man
qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber
hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4]
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan,
enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah
ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya
menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke
Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي
إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ،
قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman,
Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia
berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak
terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah
Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul
Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa
yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi
kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika
ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam
kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun
berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8]
Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum
saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Selasa, 27 November 2012
Langganan:
Postingan (Atom)